Minggu, 16 September 2012

Prolog:



Aku adalah air. Dan kau sendiri adalah api. Demi Tuhan, suatu saat akan kupadamkan segala apa yang ada dalam tubuhmu. Saat kau marah, saat kau meregang, dan saat kau muntab. Bahkan saat dunia meleleh akibat kemarahanmu, aku akan selalu ada untuk memenenangkanmu. Membuatmu merasa tentram dari pada apa yang membuatmu meledak.  Tapi, maukah kau selalu menghangatkanku saat-saat aku mulai menghadapi kematian yang beku? Saat-saat diriku hampa dengan kedinginan yang perih? Dan saat aku yang jatuh terluka ke dalam dasar laut yang tak terjangkau, pun tak ’kan kau mengerti oleh keruhnya.

                Karena, biar bagaimanapun juga, tak ‘kan pernah mungkin api menyatu dengan air. Kau padam bersamaku, dan aku menguap di sampingmu.

                Engkaulah matahari. Tak ‘kan pernah mati senyummu oleh awan mendung usil yang selalu saja menghalangimu. Kau sangat terkenal. Dan akulah bulan. Bulan yang terhenyak dalam kesunyian. Bulan yang tenggelam oleh kepopuleranmu. Betapa dunia akan kelabu tanpamu, mentari. Dan biarkan aku rembulan buruk rupa yang terdiam meregang nyawa demi menantikan pertengahan lima belas hari berikutnya untuk menampakkan diriku yang keindahannya sangatlah kamuflase karena dibayang-bayangi oleh ketampanmu, dan lima belas hari berikutnya untuk aku memutuskan untuk bersembunyi dari sebuah keputusasaan.

                Dan siapa saja tahu, bahwa aku sebagai rembulan buruk rupa tak ‘kan pernah bersanding denganmu sebagai sosok pangeran tampan. Aku akan pergi saat kau terjaga, dan kembali bersimpuh pasrah saat engkau terlelap dalam gelap. Sepi, tapi tidak dengan tidurmu yang mengganggu itu.
                Tapi, tahukah... aku akan selalu memaafkanmu dengan kebekuanku. Dan akan tetap seperti itu. Selalu, untuk selamanya.

1 komentar: