Kamis, 05 April 2012

AKU, PEREMPUAN

Dunia, tidak mengertiku tentang tujuan ke depan, dan juga dunia, atau waktu, atau diriku sendiri.
dulu, aku masih ingat persis ketika ia masih menjadi murid baru. Ia tersenyum malu-malu dan bersembunyi dibelakang kaki Ayahnya, merengek-rengek untuk minta pulang karena canggung. Tapi itu hanya sebentar, kami menerimanya dengan baik sehingga begitu cepat akrab dengannya.


Main kejar-kejaran, mahenggo’*, ataupun mandi bareng di sungai adalah hal-hal yang menyenangkan waktu itu. Kami sama-sama telanjang. tidak peduli ada tonjolan aneh di selangkangannya yang tidak kupunyai. Aku, dia, dan teman-temanku tidak mau tahu. Yang kami tahu bahwa hidup ini indah, dan hanya ada kesenangan di dalamnya.

Beranjak kelas lima SD, Ibuku dengan senyum sabar menjelaskan sesuatu ketika terjadi fenomena yang sama sekali tidak kumengerti, ketika aku mendapati cairan merah membanjiri sarung tidurku. Ibuku bilang, ini lumrah untuk anak perempuan sepertiku yang sedang menuju dewasa. Yah, dewasa, sebuah kata yang tidak kumengerti entitas yang sebenarnya.

Mulai saat itu, aku diajari bercermin, diajari bagaimana menyisir dan mengikat rambut yang rapi dan memasangkan sebuah pita. Aku tidak mengerti, tapi aku menyukainya. Apalagi pita berwarna merah jamby pemberian ayah saat beliau pulang dari kota kecamatan untuk menjual hasil kebunnya.

Masuk sekolah menengah pertama, kami masih tetap bersama-sama. Hanya saja tidak lagi bermain-main seperti dulu. Paling tidak untuk kerja tugas kelompok. Mandi di sungai masih sering bersama juga, tentunya dengan tidak masa silam. Ia kini lebih senang berkumpul dengan teman sesamanya pasti. Begitu pula denganku. Tapi aku mulai merasakan suatu hal yang aneh. Suatu hal yang lebih tidak kumengerti dari kata dewasa ataupun datang bulan. Suatu hal yang membuatku sering sesak nafas.

Aku bingung karena ia tidak mau lepas dari pikiranku. Dadaku mampet jika tidak melihatnya barang seharipun. Anehnya, saat dia ada di dekatku, dari mampet dadaku menjadi bergemuruh. Wajahku merona dan sangat memalukan. Dan hubungan kami seperti semakin jauh, itu yang membuatku sakit. Aku jadi benar-benar tidak mengerti.

Menjelang kelulusan, aku mendengar langsung darinya kalau dia akan pindah ke kota untuk melanjutkan sekolahnya. Dia akan tinggal dengan pamannya di sana. Aku?

Seorang pemuda desa datang bersama orang tuanya meminangku. Aku diam. Kedua belah pihak mufakat. Aku bisu, tidak mengerti menghadapi kenyataan. Ibuku bilang, inilah jodohku, jodoh yang harus aku terima. Dan kubilang, ya. Kebanyakan temanku juga mengalami hal yang sama denganku. Menikah di usia muda. Sebagian menerimanya karena tahu budaya orang ndeso seperti ini, sebagian menolak dan memilih kabur dari nasib yang menurut mereka yang menuntut emansipasi harus didirikan. Aku sendiri nrimo. Tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia?

Pergi, dan aku tidak menemuinya lagi sampai sekian tahun lamanya. Dan saat pertemuan itu tiba, aku melihatnya begitu banyak berubah. Tubuhnya yang dulu kurus putih kini berubah menjadi tegap, dan gagah sekali tentunya. Wajahnya yang dulu manis polos, kini dibaluti kumis tipis menggemaskan.

“Kau semakin cantik saja.” katanya. Aku tersenyum. Perih. Dengan salah tingkah kurangkul si bungsu dan kubelai rambutnya sebagai spekulasi.

Ketika ia berlalu, aku baru sadar bahwa inilah cinta, sebuah perwakilan perasaan aneh yang selalu menghantuiku selama ini.Perasaan menyebalkan namun karunia terindah dari sang Khalik. Tapi aku sadar, aku tidak berhak memilikinya. aku sudah punya karunia lain yang lebih berharga dari apapun. Suamiku, dan juga anak-anakku.

Aku tahu konsekuensi yang akan kudapat dengan terjebak pada ruang dan waktu yang kupilih ini. Bahwa suatu saat giliranku yang akan menjelaskan kepada anak-anakku tentang arti dewasa, menyisir rambutnya dan mengajarkan arti keikhlasan dan juga cinta, mungkin. Seperti yang pernah dilakukan oleh ibuku kepadaku, dan juga saudara-saudaraku.

Dengannya, aku sadar bahwa aku mencintainya. tapi aku tahu bahwa tidak mungkin memilikinya, karena ia sudah punya ruang tersendiri dalam hatiku, yakni sebagai teman sejatiku.. Teman yang mengajariku arti cinta yang sebenarnya.
*mahenggo’, sebuah permainan yang secara teknis seperti permainan hide and seek.

cerpen ini dialihkan dari alamatnya semula.. thanks for reading

10 komentar:

  1. nggak kok.. insha Allah ikhlas.. >.<

    BalasHapus
  2. krenna tawwa... tojeng... hehe

    BalasHapus
  3. penuturan yang mengesankan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih, mas,, selamat datang di ranahku, >.<

      Hapus
  4. tapi aku tahu bahwa tidak mungkin memilikinya, karena ia sudah punya ruang tersendiri dalam hatiku. yakni sebagai teman sejatiku..

    kenapa harus begitu..?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kenapa harus gitu? um, ya begitulah apa adanya.. he he he

      met datang di ranahku, mas... >.<

      Hapus
  5. kasian ya dia, harus menikah usia dini, padahal masa2 sma itu sngat menyenangkan. moga aja g' banyak lagi yg jadi korban menikah usia dini

    BalasHapus